Genre: romance
Cast: Song Seung Hyun (FT Island),
Lee Jae Sun, Lee Jae Jin (FT Island).
**
“Apakah disini ada
bunga matahari?”
“Maaf, kami tidak
menjualnya.”
Namja itu terus
berlari, menuju toko satu ke toko yang lain. Meski dingin menggelayuti tubuh
dan peluh mulai bercucuran, ia tetap berlari. Mengetuk beberapa pintu toko yang
mungkin akan tutup. Walau ia sendiri sadar, sulit untuk mencarinya disaat
seperti ini.
“Apakah disini ada
bunga matahari?”
...........
**
“Sun! Apa aku boleh masuk?”
“Masuk saja Jaejin, aku tidak mengunci pintunya.” Gadis
itu berucap, mengamati bunga matahari yang tepampang cantik dengan vas kaca
transparan.
Jaejin bergumam kesal. Membuka pintu dengan sikunya
karena kedua tangannya sedang membawa nampan berisi makanan.
“Yak!! Sudah aku bilang panggil oppa!” ucap Jaejin kesal.
Meletakkan nampan di meja belajar Jaesun.
“Ah, iya iya.. aku akan memanggilmu hyung.”
“Yak!! Kau ini. Aku ini kakakmu!”
“Kita hanya berbeda 1 tahun, Jaejin.” Jaesun berdiri.
Berjalan menuju meja belajar dan mengambil nampan.
“Kau mau kemana?” tanya Jaejin yang mulai mengekor
adiknya.
“Aku mau makan di ruang makan.”
Jaejin mengangguk mengerti. Beberapa detik kemudian
nampan berisi makanan itu sudah ia ambil alih. Berjalan menuju ruang makan
terlebih dahulu dan menata piring-piring diatas meja makan. Jaesun hanya
tersenyum tipis. Kakaknya ini terlalu berlebihan baginya.
“Sun~ duduklah.” Jaejin menarik tangan adiknya agar ia
duduk dan memakan makanan buatanya.
**
Hari belum terlalu siang, namun teriknya matahari begitu
terasa membakar kulit. Angin berhembus pelan, menerbangkan debu diudara.
Kicauan burung samar masih terdengar, membelah suara kendaraan yang kian
memadat. Jaesun bergegas menuruni tangga. Menyampirkan syal dilehernya walau
cuaca tak sedingin musim dingin.
“Mau ke toko bunga sekarang?” Jaejin berdiri dari
duduknya, mematikan televisi yang ia tonton, dan meraih jaket yang berada
diatas meja.
Jaesun hanya mengangguk. Berjalan keluar rumah terlebih
dahulu. Saat ia membuka pagar rumah, ia melihat beberapa kertas berserakan
tertiup angin.
“Sembarangan sekali membuang sampah.” Gumamnya mengambil kertas-kertas
itu, berniat untuk membuangnya di tempat sampah. Sebelum membuangnya Jaesun
mengambil salah satu kertas tersebut.
“Sun, ada apa?” tanya Jaejin.
“Tidak, tidak apa-apa. Ayo berangkat!”
“Hmm...” Jaejin hanya berdeham.
Sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Hingga akhirnya
Jaejin sadar Jaesun mengambil jalan yang berbeda dari biasanya. “Kita mau
kemana Sun? Kau tidak ingin ke toko bunga?” tanya Jaejin menatap Jaesun yang
terus berjalan mendahuluinya.
“Tentu saja ingin, tapi bukan toko bunga yang sering kita
kunjungi.” Jaejin menyamai langkah adiknya. Meminta pada Jaesun agar berbicara
lebih jelas.
“Tadi aku menemukan selebaran, saat kubaca ternyata itu
selebaran promosi sebuah toko bunga yang baru saja dibuka.” Jelas Jaesun
singkat. Jaejin yang mendengar hanya berdeham-ria.
**
Setelah sampai di toko yang ia maksud, gadis berambut sebahu
ini langsung bergegas masuk kedalam toko. Membuat loceng diatas pintu berbunyi.
Tidak seperti toko bunga kebanyakan, disini sangat sepi. Mungkin karena toko
ini baru dibuka sehingga belum terkenal seperti toko-toko lain yang memiliki
banyak pelanggan.
“Sun, seperti biasa kau lihat-lihat dulu ya? Aku akan
membeli bahan makanan dulu.”
“Ngg, baiklah!” ucap Jaesun dan Jaejin segera pergi
meninggalkannya.
“Kenapa sepi sekali?” gumam Jaesun dalam hati seraya
melihat isi toko tersebut.
Disana terlihat sosok pemuda dibalik meja kasir mengamati
tingkah Jaesun. Ia mendekat, mengamati Jaesun sekilas lagi. “Selamat datang,
ada yang bisa aku bantu?” ucapnya dengan senyum sumringah.
“Eumm, tidak. Aku hanya lihat-lihat.” Ucap Jaesun
tersenyum. Membuat si pemuda merasakan hal yang aneh. Sulit dijelaskan.
“B-baiklah.” Ia kembali menuju meja kasir. Tetap
mengamati gadis bersyal itu dari kejauhan.
Lama Jaesun melihat-lihat beraneka jenis bunga di toko
ini, tapi bunga yang ia cari tak ia temukan. Akhirnya ia putuskan untuk
bertanya pada penjaga toko.
“Maaf, apakah kau tidak menjual bunga matahari?”
“A-apa?” pemuda itu tergagap. Membuat kaget saja,
pikirnya.
“Bunga matahari. Apakah tidak ada.. eumm, Seunghyun-ssi?”
tanya Jaesun sembari membaca nametag pada baju penjaga toko. Song Seunghyun.
“Maaf, untuk saat ini mungkin belum ada.”
“Begitukah? Hmm, sayang sekali~” ucap Jaesun sedikit
kecewa, namun ia tetap tersenyum. Senyum yang renyah. Membuat Seunghyun sekali
lagi merasakan hal yang aneh pada dirinya.
“Maaf, hmm.. bagaimana jika besok kau kesini lagi? Aku
pastikan akan ada banyak bunga matahari.”
“Benarkah? Baiklah!” sekali lagi Jaesun tersenyum.
Seunghyun hanya tersenyum kikuk melihatnya.
Beberapa saat kemudian Jaejin datang dengan beberapa
kantong plastik dikedua tangannya. Ia berseru memanggil Jaesun meski dilihat
beberapa pejalan kaki yang lain.
“Ah, kakakku sudah datang. Besok aku akan kembali, sampai
jumpa!” seru Jaesun.
“Ngg, tunggu!!” cegah Seunghyun, ia segera mengambil
beberapa bunga mawar dan membungkusnya. “Ini.” Ucapnya menyodorkan pada Jaesun
yang hampir membuka pintu.
“Tapi aku tak membelinya.”
“Kau tidak usah membayar, ini hadiah karena kau
pengunjung pertama toko ini.” Jaesun hanya mengangguk dan mengambil bunga mawar
berwarna putih itu.
“Terimakasih!” ucap Jaesun membungkuk hormat. Saat ia
ingin membuka pintu, lagi-lagi Seunghyun mencegahnya.
“T-tunggu.. siapa namamu?”
“Ngg.. Jaesun, Lee Jaesun. Sudah ya?” Jaesun berpamitan
sekali lagi, membuka pintu dan menghampiri kakaknya. Saat itu pula lah
Seunghyun tersenyum gembira. Bukan karena ia mendapat seorang pelanggan, tapi
lebih seperti gembira karena dapat mengetahui nama gadis itu.
**
Namja ini menunggu dengan gusar. Melihat kearah jendela
kaca besar dihadapannya. Menunggu pelanggan? Ah, ayolah! Bukankah setiap hari
tokonya selalu sepi? Menunggu seseorang kelihatannya lebih tepat untuk dirinya.
Ya, Lee Jaesun. Gadis yang baru ia temui 1 kali 24 jam itu. Rasanya ingin
sekali melihatnya lagi.
Seunghyun menatap jam yang berada di meja kasirnya. Ini
sudah jam setengah sebelas, dan gadis itu belum datang. Kemarin ia datang jam
setengah sepuluh seharusnya hari ini pun sama. Apa dia tidak akan datang? Pikir
Seunghyun.
Pintu berderit pelan. Lonceng diatasnya berbunyi,
menandakan seseorang datang. Seunghyun tersenyum, menundukkan kepalanya
sedikit. “Selamat datang.” ucapnya. Namun beberapa detik kemudian senyumannya
surut. Ternyata bukan gadis itu, tapi bukankah ia harus senang? Orang ini
pengunjung keduanya.
Beberapa menit berlalu dan bunyi lonceng terdengar lagi.
Kali ini senyum Seunghyun benar-benar mengembang. “Selamat datang.” Semangatnya
menyambut orang yang ia tunggu-tunggu.
“Ah, ya.. Seunghyun-ssi.” Ucap Jaesun yang langsung
menghampiri Seunghyun di meja kasir. “Bagaimana? Apa bunga mataharinya ada?”
tanya Jaesun menunjukan senyuman khasnya, membuat dada Seunghyun memberontak.
“Tentu saja ada Jaesun-ssi.” Seunghyun berjongkok dan mengeluarkan sebucket bunga
matahari. “Ini.” Ucapnya menyerahkan bucket bunga.
“Banyak sekali? Aku hanya akan membeli dua sampai tiga
kuntum saja.”
“Tidak apa-apa, ini untukmu. Aku beri gratis.”
“Kau baik sekali Seunghyun-ssi. Jika begini terus kau
akan bangkrut haha~” Jaesun tertawa. Sekali lagi Seunghyun hanya tersenyum
kikuk menanggapinya.
“P-panggil aku Seunghyun saja.” Ucap Seunghyun seraya
menggaruk kepala bagian belakang.
“Hmm, baiklah.” Jaesun mengiyakan. “Apa aku boleh duduk
disana? Aku harus menunggu kakakku berbelanja.” Tanya Jaesun seraya menunjuk
bangku yang terletak disudut dekat jendela. Dari sana kau bisa melihat keadaan
diluar.
“Tentu saja. Eumm, apa kau mau minum teh sambil menunngu
kakakmu Jaesun-ssi?”
“Boleh.” Jaesun mengangguk semangat. Kebetulan sekali, ia
memang sangat menyukai minuman satu ini. “Oh iya, panggil aku Jaesun atau Sun
saja.”
“Baiklah, kau tunggu disana sebentar.” Seunghyun segera
membuka pintu yang berada tak jauh disisi kiri meja kasir.
**
Jaesun duduk sambil mengamati bunga mataharinya. Cantik,
dengan bungkus kertas bermotif bunga juga. Ia mengalihkan pandangannya,
mengamati dekorasi toko Seunghyun. Seharusnya toko sebagus ini memiliki banyak
pengunjung, pikirnya. Tak lama, Seunghyun datang dengan dua cangkir teh diatas
nampan.
“Silahkan.” Ucapnya menaruh dua cangkir itu diatas meja
dan duduk disamping Jaesun. Suasana menjadi hening sesaat. Mereka sibuk
memikirkan topik pembicaraan masing-masing.
“Seunghyun, kenapa kau membuka sebuah toko bunga?” tanya
Jaesun. Sebenarnya ia sangat ingin tahu, kenapa pemilik toko bunga ingin
membuka toko seperti ini.
“Kenapa? Hmm, kenapa ya?” Seunghyun sedikit berpikir. Tak
pernah terpikirkan alasan kenapa ia membuka sebuah toko bunga. Kenapa bukan
toko alat musik atau toko olahraga saja? “Sepertinya tidak ada alasan khusus
kenapa aku membuka toko ini.” Ucapnya asal. “Sepertinya kau sangat menyukai
bunga matahari.”
“Yah, aku sangat menyukainya.”
“Apa kau punya alasan khusus menyukai bunga ini? Bukankah
rata-rata wanita menyukai bunga mawar?”
“Sebenarnya tidak ada alasan khusus juga, hanya saja saat
melihat bunga matahari aku menjadi lebih semangat menjalani hidup. Warna kuning
yang cerah memberi energi tersendiri bagiku. Bunga ini, walau matahari begitu
terik ia tetap saja menghadap kearah matahari tanpa takut sinar itu membuatnya
sakit.” Jaesun meminum teh dihadapannya, Seunghyun hanya diam mencoba menggali
arti dibalik kata-kata gadis disampingnya.
“Ini enak!” seru Jaseun tersenyum senang, membuat
Seunghyun sedikit kaget.
“B-benarkah? Haha, kalau begitu kemarilah setiap hari.
Aku akan membuatkanya untukmu.”
“Haha, baiklah. Tapi jangan lupa siapkan bunga matahari
juga.” Seru Jaesun, membuat keduanya tertawa lepas.
**
Sejak saat itu Jaesun menepati ucapannya, setiap hari ia
mengunjungi toko Seunghyun tanpa absen sekalipun. Ini sudah tiga minggu sejak
Seunghyun dan Jaesun bertemu, seperti biasa Jaesun berkunjung ke toko temannya.
“Annyeong Seung!” sapa Jaesun yang masih berdiri di dekat
ambang pintu.
“Kau sudah datang?” tanya Seunghyun dan Jaesun hanya
mengangguk. “Duduklah.” Ucapnya seraya membungkus beberapa kuntum bunga yang
dipilih pelanggan. “Terimakasih, silahkan datang kembali.”
“Tokomu semakin ramai saja.”
“Yah, mungkin karena pemiliknya tampan seperti aku ini.”
Seunghyun terkekeh pelan mendengar ucapannya sendiri. Ia menghampiri Jaesun,
meletakkan sebucket bunga matahari dan secangkir teh hangat.
“Ishh~ semakin mengenalmu kau ini semakin narsis, Seung.”
Timpal Jaesun, menegguk secangkir teh dihadapannya.
“Kekeke~ aku ini memang tampan, bukan?” Seunghyun berucap
dengan penuh percaya diri. “Tapi aku heran, cuaca secerah dan sehangat ini
kenapa kau selalu memakai syal? Apa kau tidak kepanasan, Sun?”
“Hmm, tidak juga. Aku memakainya karena Jaejin selalu
menyuruhku untuk memakai ini saat keluar rumah.”
“Kau ini, dia kan kakakmu. Kenapa kau tak memanggilnya oppa?”
“Kadang aku memanggilnya hyung...” ucap Jaesun asal,
membuat pria disampingnya menggelengkan kepalanya pelan.
“Hyung?” Seunghyun berdiri saat melihat Jaejin membuka
pintu toko. Ia menyambut Jaejin yang baru saja selesai berbelanja. Mengenal
Jaesun juga membuat dirinya mengenal sosok Jaejin. Baginya Jaejin sudah seperti
kakaknya sendiri.
“Seung, terimakasih sudah menemani adikku.”
“Iya hyung. Kau mau minum dulu?”
“Lain kali saja, Seung.” Tolak Jaejin halus. “Sun, ayo
kita pulang. Sampai jumpa besok Seung.”
“Aku pulang dulu, Seung. Besok aku kesini lagi.” Pamit
Jaesun.
“Ya, aku akan menunggumu. Hati-hati dijalan~” Seunghyun
mengantar mereka sampai depan pintu. Ada rasa sedih saat Jaesun harus pulang
bersama kakaknya. Mungkin Jaesun bisa bermain lebih lama dengannya, pikir
Seunghyun.
**
Angin berhembus dingin, menerpa dedaunan yang berguguran.
Meski matahari bersinar dengan terang, sinarnya tak mampu menghangatkan
suasana. Sudah hampir dua bulan Jaesun tak mengunjungi toko Seunghyun. Semakin
hari tokonya memang semakin ramai, namun tanpa gadis itu rasanya sangat
berbeda. Sepi.
Musim gugur sebentar lagi habis berganti dengan musim
dingin. Musim dingin, bunga matahari sulit ditemukan saat musim seperti ini di
Korea. Apa setelah ini ia takkan bertemu Jaesun lagi? Hanya bunga itu
satu-satunya alasan untuk bertemu dengannya. Tanpa itu apa ia bisa bertemu?
Seunghyun terus berpikir. Selalu menunggu gadis pecinta bunga matahari itu.
“Katanya besok akan kesini lagi, tapi ini sudah hampir
dua bulan. Sebenarnya kapan ‘besok’ yang Jaesun maksud?” gumam Seunghyun. Ia
terus menatap jendela, berharap lonceng diatas pintu berbunyi.
Sudah hampir waktunya toko ditutup. Seperti biasa
Seunghyun selalu menengok kearah jendela sebelum mengunci tokonya. Siapa tahu
gadis itu datang disaat-saat seperti ini. Nihil. Tidak ada orang yang ia
maksud, hanya jalanan gelap dengan cahaya remang lampu jalan. Seunghyun
memutuskan mengunci pintu. Namun ia urungkan saat seseorang membuka pintunya,
membuat ia refleks mundur beberapa langkah.
“Seung.”
“J-Jaejin hyung?” Seunghyun menatap Jaejin yang
kelelahan. Sepertinya Jaejin berlari menuju kesini, pikir Seunghyun. Ia
menengok kearah belakang Jaejin, berharap Jaesun juga ikut bersamanya. Tapi
tidak ada, hanya bayangan yang Jaejin bawa bersamanya. “Jaesun tidak ikut
bersamamu hyung?” tanya Seunghyun pada akhirnya.
“Apa masih ada bunga matahari di tokomu?” ucap Jaejin,
mengelap peluh di dahinya dengan lengan jaket yang ia kenakan.
“M-masih ada dua kuntum hyung.”
“Tolong bungkuskan untuk ku.” Pinta Jaejin. Mendengar itu
Seunghyun bergegas membungkuskan bunga tersebut.
“Apa ini untuk Jaesun? Dimana dia sekarang hyung?”
Seunghyun menyerah kan bunga yang diminta Jaejin. Berucap dengan nada khawatir.
“Dia sedang sakit saat ini.”
“S-sakit? Dia sakit apa hyung? Apa aku boleh
menjenguknya?” tanya Seunghyun. Raut wajah khawatir tampak jelas sekarang.
Jaejin mengangguk, menyuruh namja tinggi itu untuk mengikuti langkahnya.
**
Seunghyun terus berjalan mengikuti Jaejin. Ia enggan
menanyakan keadaan Jaesun padanya. Jaejin terlihat begitu sedih, wajahnya tak
secerah biasanya. Sampai di rumah sakit pun Seunghyun hanya diam, menatap
beberapa kuntum bunga yang ia bawa.
“Jaesun, lihat siapa yang datang!” seru Jaejin seraya
membuka pintu kamar rawat.
“Oh, Seunghyun?” ucap Jaesun. Ia tersenyum meski
senyumnya redup terkalahkan oleh wajah pucatnya. Jaesun mencoba bangkit,
mengubah posisi tidurnya menjadi duduk.
“Hmm, aku datang membawakan bunga matahari untukmu.”
“Haha, terimakasih. Maaf aku tidak jadi mengunjungi
tokomu.”
“Ishh, sakit saja kau masih memikirkan berkunjung ke
tokoku?”
“Apa tidak boleh? Hahaha..” Jaesun terus tersenyum.
Seunghyun yang sebelumnya khawatir kini merasa sedikit lega.
“Ternyata Jaesun tidak apa-apa.” Gumam Seunghyun dalam
hati, menaruh bunga diatas meja dekat ranjang Jaesun. “Cepatlah sembuh dan
tepati ucapanmu untuk berkunjung ke tokoku.”
“Hmm..” Jaesun mengangguk. Menatap sayu Jaejin yang
berada disamping Seunghyun. Beberapa detik kemudian ia meraih bunga di meja,
mengamatinya sejenak. “Ini sangat cantik!” ucapnya mengulas senyum.
“Ya tentu saja. Tapi sebentar lagi musim dingin, mungkin
akan sulit mendapatkan stok bunga matahari di Korea.” Jelas Seunghyun.
“Bawakan saja dia bunga yang lain.” Ucap Jaejin.
“Yah, benar. Jika tidak ada, bawakan saja bunga yang
lain. Saat musim dingin memang sedikit sulit.” Jaesun mengiyakan ucapan Jaejin.
“Baiklah.”
**
Hari demi hari berganti, Seunghyun tak lagi membawakan
Jaesun bunga matahari seperti biasanya. Hanya beberapa kuntum bunga mawar
berbeda warna setiap harinya. Tanpa absen, seusai menutup toko Seunghyun selalu
menyempatkan dirinya menjenguk Jaesun. Ini terlalu lama, sudah lebih dua bulan
terhitung saat Jaesun terakhir kali mengunjungi tokonya.
Seunghyun membuka pintu kamar rawat. Mengulas senyum saat
Jaesun dan Jaejin menyambutnya. Ia masuk, meletakkan bunga mawar putih di meja.
“Aku datang.”
“Duduklah Seung.” Jaejin menawarkan bangku kosong
disebelahnya.
“Terimakasih hyung.” Ucap Seunghyun seraya duduk. Menatap
wajah Jaesun yang kian memucat. Meski gadis itu tersenyum padanya, Seunghyun
tahu Jaesun melakukan itu agar orang-orang disekitarnya tidak khawatir.
“Aku keluar sebentar.” Jaejin berdiri, mengusap rambut
Jaesun pelan lalu menepuk bahu Seunghyun.
“Kapan kau sembuh, hu?” tanya Seunghyun saat Jaejin sudah
keluar dari kamar rawat Jaesun. Tak ada jawaban, Jaesun hanya tersenyum pada
Seunghyun. Suasana menjadi hening. Hanya atmosfer rumah sakit yang jelas terasa
antara keduanya.
“Seung?”
“Hmm, ada apa Sun?”
“Hari ini aku sangat ingin melihat bunga matahari.”
Jaesun berkata tanpa melepas senyumannya. Meski pucat menghantuinya, ia masih
terlihat cantik. “Bisakah aku minta tolong padamu?”
“Kau ingin aku belikan bunga itu sekarang?”
“Hmm..” Jaesun
mengangguk. Tidak perlu dijelaskan pun Seunghyun sangat mengerti apa yang ingin
gadis itu katakan.
“Kau tunggu sebentar, akan aku carikan untukmu.” Dengan
segera Seunghyun berlari keluar dari rumah sakit.
**
“Apakah disini ada bunga matahari?”
“Maaf, kami tidak menjualnya.”
Namja itu terus berlari, menuju toko satu ke toko yang lain.
Meski dingin menggelayuti tubuh dan peluh mulai bercucuran, ia tetap berlari.
Mengetuk beberapa pintu toko yang mungkin akan tutup. Walau ia sendiri sadar, sulit
untuk mencarinya disaat seperti ini.
“Apakah disini ada bunga matahari?”
“Maaf, saat ini bunga matahari sedang tidak ada stoknya.”
Ini toko kedelapan yang Seunghyun datangi. Tapi sama saja, tidak ada yang
menjualnya saat musim dingin. Bahkan di tokonya pun sama. Butiran salju mulai
turun perlahan, hingga akhirnya Seunghyun menyerah mencarinya. Ia kembali ke
rumah sakit dengan tangan hampa. Berjalan gontai menuju kamar Jaesun.
“Oh, hyung. Kau sudah kembali?” ucap Seunghyun pada
Jaejin. Ditatapnya Jaesun yang sedang menanti bunga pesanannya. “Maaf, Sun. Aku
tidak mendapatkannya.” Seunghhyun menunduk lesu.
“Hmm.. sayang sekali~”
“Maaf.”
“Tidak apa-apa. Apa aku boleh minta tolong lagi?”
Seunghyun mengangguk. Berjalan mendekati Jaesun. “Aku ingin ke tokomu sekarang,
hehehe~”
“S-sekarang?” Seunghyun menatap Jaejin bingung, seakan
meminta penjelasan pada sang kakak atas pernyataan adiknya. Jaejin berdiri dari
duduknya, menepuk bahu Seunghyun lagi.
“Pergilah.” Lirihnya.
“Ayo, Seung!!” Jaesun mengulurkan kedua tangannya. Namun
Seunghyun hanya bertapi-tapi-ria pada Jaejin.
**
Akhirnya Seunghyun menggendong Jaesun dipunggungnya.
Keluar dari rumah sakit, meski harus mengendap-endap dari pengawasan suster
maupun dokter disana. Jaesun tersenyum, menatap butiran-butiran salju yang turun
dari langit. Walau dingin, tapi bersama Seunghyun ia merasa hangat. Diam-diam
Jaejin mengikuti mereka dari belakang, tersenyum getir melihat punggung dua
orang didepannya.
Seunghyun mendudukkan Jaesun di bangku dekat jendela.
Membuatkan secangkir teh kesukaan gadis yang masih memakai baju pasien rumah
sakit. “Minumlah, agar badanmu hangat.”
Jaesun meminumnya, meletakkan cangkir itu diatas meja
lalu menatap Seunghyun. “Aku menepati ucapanku, bukan?” ucapnya meski lebih
terdengar seperti gumaman. Seunghyun mengernyit tak mengerti.
“Aku sudah berkunjung ke tokomu lagi.” Jelas Jaesun,
Seunghyun tertawa dibuatnya. Saat itulah Seunghyun teringat sesuatu. Ia
bangkit, mengambil sesuatu diatas meja kasir.
“Ini.” Namja jangkung itu menyodorkan sesuatu. Jaesun tersenyum
geli namun tetap mengambil apa yang diberikan Seunghyun. “Bunga matahari dari
plastik sebagai pengganti bunga matahari asli.” Jelasnya.
“Terimaksih, berkatmu aku bisa melihatnya.” Suara Jaesun
kian melemah. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Seunghyun yang duduk
disebelahnya. “Kau tahu, Seung? Aku ingin menjadi bunga matahari. Kau tahu
alasannya?”
“Apa alasannya?” Seunghyun balik bertanya.
“Karena bunga matahari sangat kuat. Banyak cerita tentang
bunga matahari, bahwa bunga tersebut bisa hidup. Akarnya akan menjadi kaki, dua
sisi daunnya akan menjadi tangan, dan kelopaknya menjadi kepala. Suatu saat,
mungkin aku akan menemuimu dengan wujud seperti itu.” Lirih Jaesun, ia terkekeh
pelan mengingat cerita yang sering ia baca. Terlalu bodoh jika ia masih percaya
tentang hal seperti itu, bukan?
“Sun...”
“Hmm?”
Seunghyun mengatur nafasnya yang mulai tidak beraturan.
Sesekali mengehla nafas panjang, mengurangi kegugupan yang ia rasakan. “Aku..
aku menyukaimu.”
“Aku juga.”
“Tapi bukan suka yang sep-”
“Aku tahu, Seung..” ucap Jaesun. Selanjutnya hening.
Seunghyun terlalu gembira akan cinta yang terbalaskan.
“Sun?” panggil Seunghyun.
“Hmm..” Jaesun berdeham lirih.
“Kau tidak lelah? Bagaimana jika kita kembali ke rumah
sakit? Aku akan menggendongmu lagi. Bagaimana?”
Hening. Seunghyun berbicara panjang namun tak ada tanggapan.
“Sun?” Seunghyun mencoba mengubah posisi duduknya, tapi
bunga yang Jaesun genggam terlepas begitu saja. Jaesun juga hampir terjatuh
jika Seunghyun tak segera memegangnya. “Jaesun? Lee Jaesun?! Jaesun!!! Ya!! Lee
Jaesun!!” ucap Seunghyun terus-menerus. Tapi Jaesun hanya diam, tubuh hangatnya
menjadi agak dingin. Jaejin yang mendengar seruan Seunghyun segera masuk
kedalam toko. Memegang bahu Seunghyun yang bergetar.
“Seung...” ucap Jaejin terisak. Jaejin menjelaskan semua
pada Seunghyun. Ia menangis, mereka menangis. Baru Seunghyun sadari, Lee Jaesun
sudah tak ada. Leukemia menggerogoti tubuh gadis dalam dekapannya.
“Jaesun.....” lirih Seunghyun. “Saranghae...” gumamnya,
meski ia tahu tak akan ada jawaban, tak akan ada lagi senyum dari gadis ini dan
tak akan ada lagi seseorang yang datang menagih bunga matahari padanya. Hanya suara
isak tangis yang terdengar memecah keheningan malam. Salju kian deras
menghujani kota Seoul, seakan ikut menangis dalam kebekuan.
“Aku ingin menjadi
bunga matahari.”
END~~~
Komentar
Posting Komentar